Pandemi dan Perpisahan


Enggak pernah terbayangkan sebelumnya kalau semasa hidup gue bisa mengalami apa yang namanya pandemi global. Di mana bukan cuma negara ini aja, melainkan hampir seluruh dunia harus ditimpa wabah dari virus yang mematikan ini.

Masih segar di ingatan gue, di awal tahun ini warga dan pejabat pemerintah masih hahahihi dalam menyikapi awal mula munculnya virus asing di China. Bukan tanpa alasan, karena nyatanya saat banjir melanda beberapa daerah di Indonesia, warga yang terdampak pun masih bisa terlihat senang-senang.

"Jangankan Corona, banjir aja kita jadikan wisata,"
"Indonesia kebal virus Corona, beli gorengan minyak kecampur plastik aja enggak kenapa-kenapa." begitu kata salah satu netizen yang cuitannya dikutip di laman berita yang gue baca.

Sebetulnya, enggak ada salahnya optimis saat menghadapi bencana, tapi kalau gue kira, yang dilakukan warga Indonesia ini justru kelewat takabur. Mereka mungkin lupa, warga Indonesia enggak cuma satu dua, apalagi banyak juga yang di tinggal di luar negara. Lama-lama, virusnya bisa masuk juga tanpa harus permisi. Sampai harus dikeluarkan perintah karantina pula.

୨୧

Berhubung belum pernah punya pengalaman terdampak wabah sebelumnya, gue pribadi saat itu cukup panik dan memutuskan buat buru-buru pulang ke rumah daripada harus menetap di kosan. Awalnya sempat bingung memutuskan, karena saat itu cukup percaya karantina cuma dua minggu aja. Ditambah, gue habis pinjam buku baru di perpustakaan yang perpanjangannya setiap seminggu sekali kalau enggak mau kena denda. Enggak lupa juga nasib sepeda kampus yang kepulangannya enggak pernah ditanya. Tapi, akhirnya gue pulang juga setelah mengingat gue terlalu sibuk di kampus sampai enggak pernah pulang kecuali libur semesteran.

Saking buru-burunya dan takut keburu enggak ada transportasi yang dibuka, gue pulang tanpa bawa apa-apa kecuali barang-barang yang penting aja. Beres-beres kamar juga cuma sekenanya karena masih percaya kalau karantina cuma dua minggu aja, yang nyatanya ternyata sampai semester berikutnya.

Itu, sih, hal terakhir yang gue lakukan, tapi gue sesali juga. Karena setelah beberapa bulan dan dapat kesempatan buat pindahan, gue menemukan barang-barang gue yang lebih mirip ditaruh di gudang daripada di kamar. Meja belajar gue dijadikan kos-kosan oleh kerabat jamur dan beberapa baju gue dijadikan kawasan hotel nyaman bagi celurut yang mampir.

୨୧

Setelah beres-beres kamar dan packing semua barang-barang untuk dibawa balik lagi, gue langsung pulang karena mengingat situasi wilayah yang belum begitu pulih. Gue enggak berekspektasi kalau gue harus keluar dari kos itu dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang kayak gini. Gimana, ya, gue bisa bilang kalau yang punya kos sudah cukup baik menerima dan merawat gue dan teman-teman gue selama kos di sini. Kayak ngerawat anak sendiri, katanya. 

Apalagi, belum sempat juga berpamitan dengan teman-teman gue yang lain di sini. Tapi, enggak apa-apa. Seenggaknya masih ada kontak lewat media sosial kalau-kalau kangen dan pengen ketemu virtual. Ya, sudah, begitu aja. Stay safe, semua!


Informasi terkait Corona akses di sini.

Komentar