Berlabuh di Pelabuhan yang Salah

Sumber: Pinterest

"Hari Minggu ada kegiatan apa? Mau enggak kalau aku ajak jalan?"

Sore hari yang panas di hari Sabtu memang selalu sukses memberi kesan yang ambigu. Terkadang bikin senang karena masih punya waktu untuk leha-leha sampai hari esoknya. Terkadang bikin resah juga karena bingung mau jalan-jalan ke mana dan dengan siapa.

Gue enggak termasuk ke dalam salah satunya. Fokus pikiran gue saat itu terbagi ke kram perut dan realita di minggu baru yang harus gue jalani lagi dengan terseok-seok. Lagi pula, untuk ukuran cewek yang enggak bisa naik kendaraan bermotor dan ditinggal sendirian oleh teman-teman kosnya, akhir pekan gue memang sudah enggak bisa diselamatkan untuk opsi jalan-jalan. 

୨୧

Seraya mendengar suara kipas angin kecil yang enggak pernah terlepas dari soketnya, muncul notifikasi pesan yang masuk seperti jawaban kehampaan akhir pekan gue kali ini. Pesan singkat, padat, dan jelas yang gue terima dari kakak tingkat jurusan gue memunculkan energi bersosialisasi yang sebelumnya sempat berkurang.

"Akang habis dari kampus, sekarang mau jalan pulang. Mau titip sesuatu enggak? Sekalian pulang ngelewatin jalan kos kamu."

Pesan itu langsung gue buka dan baca. Niatnya mau gue balas cepat, tapi gue refleks mengeruti kening, tanda mikir. Mau titip apa, ya? Kalau gue titip makanan, ngerepotin enggak, ya?

Maklum, jadi people pleaser itu aneh. Enggak keberatan kalau direpoti orang-orang, tapi merasa keberatan kalau mau minta tolong orang. Tapi, karena gue sudah cukup dekat dengan dia—karena bersinggungan di beberapa kegiatan kampus—akhirnya gue jawab pesannya langsung dengan luwes. Biar dia enggak harus nunggu lama jawaban dari cewek yang seringnya kebanyakan mikir ini-itu. (Gue)

"Boleh, Kang. Aku mau titip kue pukis aja kalau ada, takutnya makanan lain belum pada buka." Tadinya gue mau balas titip nasi goreng biar makan malam enggak harus masak apa-apa lagi, tapi masih terlalu siang untuk tukang nasi goreng buka lapak. Wkwk.

Sampai situ, gue enggak mikir yang aneh-aneh karena memang kakak tingkat gue satu itu terkenal baik dan enggak segan buat mengayomi adik-adik tingkatnya. Setelah ketemu, bilang makasih, dan dibalas sama-sama, gue memutuskan untuk buru-buru pamit. Enggak tahu kenapa saat itu gue pengen buru-buru, padahal harusnya basa-basi dulu biar sopan karena habis dititipin makanan. Biar enggak awkward juga, sih. 

Sudah siap gue balik badan, dia malah melayangkan pertanyaan to the point yang sukses bikin gue stun beberapa detik. Kalau di depan gue ada cermin, mungkin gue langsung buru-buru lihat cermin buat lihat ekspresi jelek gue saat itu.

Bukan gimana. Gue cuma enggak tahu harus kasih respon apa karena enggak pernah punya pengalaman diajak jalan oleh lawan jenis sebelumnya. Ada yang naksir aja sudah syukur, apalagi sampai diajak jalan. Rasanya agak berlebihan buat gue.

Paling enggak, dia sudah mau repot-repot mengantar titipan—walau memang dia yang menawari—yang ujung-ujungnya hanya sekadar meminta izin ngajak jalan-jalan. Paling enggak juga, dia sudah bertanya untuk menunjukkan consent sehingga memang enggak ada unsur paksaan. Enggak ada alasan bagi gue menolak ajakannya, selain jadwal akhir pekan yang minim dan situasi yang diharuskan untuk direspon gancang. 

୨୧

Kata sopan dan gentle paling banyak membuat sesak pikiran gue selama durasi jalan-jalan itu. Secara terbuka dan terang-terangan, dia selalu menanya tentang bagaimana kisah asmara gue sebelumnya, yang sebenarnya sudah malas gue jawab karena memang enggak cukup bagus untuk dijadikan story-telling. Katanya, sih, itu menyoal izin PDKT yang lagi-lagi dia utarakan tanpa risi.

Sejak saat itu, gue akui, kehadiran sosoknya sulit untuk gue tampik. Sedikit jahat karena gue hanya sibuk mencari celah buruk untuk gue jadikan tameng dari perasaan gue yang enggak cukup secure. Gue enggak bisa menerima izinnya saat itu, saat ini, dan mungkin juga di masa depan. Tentu kepastian sudah gue bicarakan sekadar untuk menghindari kesalahpahaman dan kecewa bukan hanya untuk dia, melainkan juga sebagian orang yang sudah memberi dukungan.

Bukan gimana. Cukup banyak tembok penghalang yang harus dilewati sebelumnya, di saat gue sendiri belum bisa merobohkan bahkan salah satunya.

୨୧

Untuk Si Semut Rangrang

Maaf, ini bukan lanjutan kisah yang lebih jauh.
Hanya sebuah ucap yang belum sempat dibubuh.
Maaf, hanya itu yang bisa terucap.
Untukmu yang sudah repot bersiap.
Percayalah aku hanya perempuan pelik yang kukuh dalam mendindingi hati.
Entah apa, siapa, dan dari apa aku mesti membentengi diri.

Satu yang terkira adalah segala afeksi darimu.
Afeksi dan simpati itu membuatku lemah, di mana aku ingin menjelma menjadi yang tangguh.
Bukan maksudku enggan membalasmu, hanya saja aku benci untuk selalu direngkuh.
Anggap aku selaku yang egois, kala banyaknya tuah yang tak tertepis.
Anggap aku selaku yang jahat, justru menepis kebaikanmu yang tak bercacat.

Komentar