CICAQ


Sekilas informasi pribadi gue semasa sekolah, gue bukan salah satu siswa yang bisa dibilang pintar atau berprestasi di mata guru. Saat di dalam kelas aja, kehadiran gue hampir bisa dibilang invisible karena memang gue bukan tipikal siswa yang menonjol.

Sejak SD hingga SMP, gue lebih sering melakukan kebiasaan yang condong ke arah main-main daripada melakukan kewajiban gue sebagai pelajar. Jadwal belajar yang gue bikin pun enggak masuk akal karena gue hanya membuat jadwal belajar itu di saat ujian menjelang. Sisa waktunya, ya, hanya gue investasikan sedikit untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, dan sebagian besarnya hanya untuk bermain.

Kalau kilas balik ke masa-masa itu, satu sisi gue merasa menyesal karena malas belajar dan banyak menyia-nyiakan waktu, tapi satu sisi gue bersyukur karena gue enggak ketinggalan momen di usia gue main-main.

Sudah cukup waktu leha-leha yang gue lakukan selama masa anak-anak. Kali ini, seiring bertambah usia dan pergantian masa, gue memutuskan untuk mulai serius dalam menjalankan role gue sebagai pelajar.

Singkat cerita, gue akhirnya dipertemukan oleh orang-orang yang sebagian besarnya adalah teman gue saat SMP, dalam bentuk (yang tadinya) kelompok belajar. Selain satu frekuensi, gue dan mereka punya kebiasaan dan kesukaan yang sama. Salah satu di antaranya adalah kebiasaan bertingkah laku kayak anak kecil yang enggak kenal sekolah.

Biasanya gue dan beberapa dari mereka melakukan hal itu kalau lagi stres. Semacam stress relief, begitu. Walaupun gue sepenuhnya yakin enggak sedikit orang yang kesal kalau sudah mendengar rengekan kami. Tentu, terlihat dari ekspresi wajah-wajah mereka yang enggak bisa ditipu.

Untungnya, karena kami sudah satu frekuensi sejak awal, hal-hal semacam itu enggak terlalu kami bawa pusing. Sudah lelah memikirkan hal-hal yang terjadi di setiap harinya, gue enggak mau membebani lebih otak gue dengan sesuatu yang enggak perlu.

Seiring berjalannya waktu kami bersama—sama-sama ketawa dengan lelucon yang seringnya cuma kami yang memahami, sama-sama menangis kalau ada tugas yang merenggut waktu luang rebahan, atau sama-sama yang lainnya yang enggak bisa gue tulis satu persatu—kami memutuskan untuk mendeklarasikan kelompok kecil ini secara resmi.

Sejujurnya, gue enggak terlalu peduli kalau orang menganggap gue dan mereka cuma sebuah kelompok belajar biasa, circle pertemanan di sekolah, atau geng kecil ala-ala jaman SMA. Titel yang disebut pun hanya dalam kalangan kami aja. Bahkan sampai detik gue menulis tulisan ini, gue masih enggak mengerti kenapa kelompok ini dinamakan CICAQ, selain akan kebutuhan tampilan nama pada grup obrolan kami.

Tapi, ya sudah. Sudah gue bilang sebelumnya kalau segala candaan dan obrolan yang ada di dalam kelompok kami, memang paling seringnya enggak cocok kalau dibicarakan kepada orang lain. Terkadang gue pun bertanya-tanya mengapa gue dan mereka punya selera humor yang hampir koma dan butuh remedial ini.


Komentar