Penentuan Nasib

 

Gambar di atas mengawali tulisan gue kali ini. Mumet. Ternyata lulus sekolah gak seindah dan sebebas yang gue pikir. Mesti harus ekstra mikir ke depannya mau ngapain. Mau kerja, kuliah, atau nganggur, menurut gue semua perlu perencanaan. Selain perencanaan, perlu juga kolaborasi yang solid antara elemen-elemen penentunya; guru, orang tua, dan diri gue sendiri.

Gue merasa selama ini hidup gue penuh tuntutan dari orang tua, terutama ibu yang paling utama dan mendominasi. Maklum, bapak gue udah enggak bisa nemenin gue bahkan sampai gue lulus SMP. Selama sekolah which is saat itu usia gue masih terbilang anak-anak, kemampuan gue memutuskan suatu keputusan masih lemah. Ya, itu jadi alasan kuat kenapa akhirnya hidup gue penuh tuntutan dan arahan dari ibu. Enggak jarang justru pilihan-pilihan beliau memberatkan dan enggak sesuai sama apa yang gue mau. Tapi, ya, sebelumnya, enggak ada yang bisa gue lakukan selain legowo dan berusaha tetap waras ngejalaninnya. Ditambah mind-set bahwa pilihan orang tua harus selalu dituruti karena pasti akan selalu berakhir baik. Haram hukumnya jika dibantah! Begitulah kira-kira.

Gue menganggap tulisan ini jadi ajang buat gue refleksi diri terhadap apa aja yang sudah gue lakukan selama ini. Karena ternyata, masa-masa sekolah gue ini bener-bener jadi penentu apa yang bakal gue lakukan selanjutnya. Secara enggak sadar, gue banyak belajar hal-hal besar penentu ke mana arah tujuan hidup gue bakal berjalan. Salah satunya yang berperan besar adalah bimbingan karier.

Ceritanya, mentor dari kajian yang biasa gue ikuti ini buka kelas khusus bimbingan karier. Isinya kayak mengajak gue buat berpikir bareng gimana penyelesaian masalah kebingungan menentukan karier. Supaya apa yang kita pilih di masa depan ini sesuai dengan acuan agama dan keyakinan yang gue anut, katanya. Ya, begitulah. Dunia dan akhirat memang harus diusahakan balance. Karena gue engga alim-alim amat, seenggaknya gue berusaha belajar hal-hal yang gue enggak tahu.

Mentor gue bilang, sejatinya kita ini hidup bersosial. Fakta tersebut pun dibuktikan pada hampir semua firman di Al-Qur'an yang isinya perintah untuk hidup bersosial dan orientasi pembangunan masyarakat. Lebih banyak ayat yang menjelaskan tentang kehidupan sosial daripada kehidupan individual, seperti hubungan manusia dan Tuhan. Sampai gue menulis tulisan ini, ternyata ada beberapa artikel di Google juga yang membicarakan perihal sama. Sedikit banyak yang gue tangkap saat itu adalah tentang bagaimana cara gue berfungsi dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Bukan cuma perkara individualis demi menyenangkan hati orang tua atau sekadar pemenuhan keinginan diri.

———

Manusia diciptakan sama Tuhan tuh bener-bener luar biasa, ya. Selalu pas dan sesuai isinya. Kalau kata Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), usia di bawah 17 tahun itu masih termasuk anak-anak. Makanya, kalau bisa, ideal menikah itu di atas usia 17 tahun. Tapi ini bukan tentang menikah, melainkan proses otak manusia remaja yang mulai berkembang ditandai dengan caranya mulai berpikir kritis, dan sudah mulai cakap dalam mengambil keputusan. Jujur, proses itu sangat gue alami, tentu karena hasil dari proses diskusi dari kajian dan bimbingan karier yang gue ikuti. Sebelumnya, ibu gue masih berpikir bahwa gue adalah seorang anak yang harus selalu dituntun ke manapun. Bahkan sampai urusan memilih jurusan kuliah pun gue harus mengikuti beliau. Padahal nilai-nilai yang dihasilkan dan usaha yang gue lakukan enggak sama sekali ada campur tangannya. Beliau mungkin lupa kalau gue juga bisa berkembang dan berproses.

Dari situ gue mulai merasa yakin kalau apa yang jadi pilihan gue adalah mutlak dan dari hasil pemikiran yang matang. Enggak harus melulu minta persetujuan dari ibu. Tentu prosesnya enggak sebentar dan gampang. Gue harus debat dulu sama beliau dan guru BK gue. Hampir pengen nyerah karena teringat mind-set gue dulu bahwa, pilihan orang tua enggak pernah salah.

Ternyata tekad gue didengar dan dirasakan juga sama Tuhan. Setelah harus melalui belajar keras pagi ketemu pagi, dan nangis sambil berdoa nyebut jurusan kuliah yang gue pengen, akhirnya ibu gue luluh dan tersadar bahwa gue sudah memasukki usia dewasa yang enggak melulu harus dituntun. Dukungan yang cukup dan doa beliau juga termasuk bentuk kolaborasi solid yang sebelumnya sudah gue tulis di awal tulisan ini. Gue bangga sama diri sendiri karena bisa berkorban demi menentukan nasib gue ke depannya. Diterimanya gue di jurusan kuliah yang gue inginkan adalah salah satu alasan untuk gue harus tetap berjalan mencapai apa yang gue mau.

Komentar